MAKALAH WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV)
MAKALAH
WHITE SPOT
SYNDROME VIRUS
(WSSV)
TAUFIQ ABDULLAH
0517 1511 027
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang
Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah WSSV.
Makalah ini telah kami susun dengan
maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini
belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan laporan ini. Atas perhatiannya kami
ucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Penyebaran WSSV
B.
Klasifikasi Dan Morfologi
C.
Inang WSSV
D.
Faktor Penyebab Atau Pendukung WSSV
E.
Gejala Klinis WSSV
F.
Transmisi Virus WSSV
G.
Metode Diagnosa
H.
Pengobatan
I.
Pencegahan Dan Pengendalian
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Virus berasal dari bahasa Yunani venom yang berarti racun. Virus
merupakan suatu partikel yang masih diperdebatkan statusnya apakah virus itu
termasuk makhluk hidup atau benda mati. Virus dikatakan benda mati karena virus
dapat dikristalkan sedangkan virus dikatakan benda hidup karena virus dapat
membela diri didalam inang.
Secara umum virus merupakan partikel elemen genetic yang mengandung
salah satu asam nukleat yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) atau asam
ribonukleat (RNA) yang dapat berada dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu
secara intraseluler dalam tubuh inang dan ekstraseluler diluar tubuh inang.
Virus dapat bereproduksi dengan membentuk molekul-molekul baru, baik DNA maupun
RNA (Arif, 2014).
Virus sering kali
menjadi kendala utama yang dihadapi dalam budidaya terutama kegiatan budidaya
udang. Lima jenis virus yang telah ditemukan pada budidaya udang windu, yaitu Monodon
Baculo Virus (MBV), Yellow Head Virus (YHV), White Spots Syndrome
Virus (WSSV), Infectious Hematopoietic and Hypodermal Necrotic Virus (IHHNV),
dan Hepatopancreatic Parvo-Like Virus
(HPV) (Lightner, 1996). Di antara jenis virus tersebut, WSSV merupakan jenis
virus yang paling ganas, karena menyebabkan kematian dan kerugian yang cukup
besar (Lightner, 1996; Flegel, 1997; Chou et al. 1998).
WSSV adalah virus yang
menyerang sistem organ dari krustasea yang menyebabkan bercak putih pada
permukaan eksternal udang hingga
menyebabkan kerugian berupa kematian yang tinggi (mortalitas) mencapai 100%.
Udang yang terserang penyakit ini dalam waktu singkat dapat mengalami
kematian yang sangat tinggi. WSSV
merupakan virus yang disebabkan oleh virus SEMBV dan termasuk golongan virus
berbahan genetik DNA (Dioxyribonucleic
Acid) berbentuk batang (Bacilliform).
Awal dari terjangkitnya penyakit ini biasanya
didahului oleh fitoplankton yang mati secara massal, air tambak tiba-tiba
berubah warna dan kekentalan air tambak meingkat (Yanto, 2006). Berdasarkan uraian inilah, kami akan menyusun sebuah
makalah mengenai White Spots Syndrome Virus atau WSSV.
B. Tujuan
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
1. Mengetahui
faktor penyebab atau pendukung WSSV
2. Mengetahui
gejala klinis WSSV
3. Bagaimana
cara mengdiagnosa WSSV
4. Pengobatan
WSSV
5. Pencegahan
dan pengendalian WSSV
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Penyebaran WSSV
WSSV pertama kali menyerang sentra budidaya tambak
udang di Taiwan yang menyebabkan kematian massal pada udang Penaeus japonicus
tahun 1992, kemudian menyebar melalui udang impor ke selatan Jepang, Thailand,
Indonesia dan pantai India tahun 1993 (Chou, 1995).WSSV mulai menyerang Amerika
Selatan yaitu di Ekuador dan Peru pada akhir tahun 1998 dan menyebabkan
kegagalan panen dengan morbiditas dan mortalitas tinggi mencapai 100%(McClennen,
2004).
Mayoritas arthropoda seperti kepiting liar Portunus
pelagicus dan udang renik kemungkinan menjadi karier dan dapat
mentransmisikan virus ke sistem budidaya udang melalui saluran inlet (Supamattya
et al., 1996) dan proses kanibalisme udang yang baru mati lewat air yang
terkontaminasi (Chang et al., 1996).
B. Klasifikasi Dan Morfologi
WSSV termasuk dalam family Nimaviridae genus Whispovirus
(Vlak et al., 2002). WSSV mempunyai bentuk lonjong dan berdiameter
antara 120–150 nm, panjang 270–190 nm, mempunyai tiga lapis selaput (envelope)
yang melindungi inti (nucleocapsid ) (Sunarto, 2003).
Penyakit white spot adalah salah satu jenis penyakit udang yang disebabkan
oleh virus yang tergolong dalam jenis White Spot Syndrome Baculovirus Complex
(WSSV). Klasifikasi virus jenis ini adalah sebagai berikut :
- Group: Group I (dsDNA)
- Family: Nimaviridae
- Genus: Whispovirus
- Species: White spot Syndrome Baculovirus Complex
C.
Inang
WSSV
WSSV
adalah virus yang menyerang sistem organ dari krustasea. Beberapa krustesea
yang sering diserang WSSV diantaranyaPenaeus monodon, P. indicus, P. japonicus,
P. chinensis, P. marguensis, P. aztecus, P. stylirostris, P. vannamei, P.
duorarum, P.setiferus, P. penicillatus, P. semisulcatus, P. curvirostris,
Metapenaeus ensis, udang air tawar (Macrobrachium idella, M lamerrae), kepiting
air tawar (Paratelphusa hydrodomuos, P. pulvinata).
D.
Faktor
Penyebab Atau Pendukung WSSV
Perubahan
suhu air, kesadahan, salinitas, dan penurunan kadar oksigen (< 2 ppm) secara
cepat diduga kuat dapat memicu outbreak infeksi subklinis WSSV. Muncuknya
penyakit ini juga dapat dipicu oleh blooming plankton yang kemudian mati
mendadak, fluktuasi pH harian besar, suhu yang rendah, hujan mendadak, dan
pengelolaan pakan yang kurang baik.
E.
Gejala
Klinis WSSV
Udang yang
terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah laku yaitu menurunnya
aktivitas berenang, kurangnya keseimbangan dalam berenang, dan tidak
terarah. Selain itu udang lebih sering
berenang bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat bercak-bercak putih
pada karapas dengan diameter 0.5-3.0 mm tetapi pada induk udang warnanya
menjadi merah (Mahardika et al., 2004 dalam Yanto, 2006), dan bercak putih ini
pertama kali muncul pada cephalothorak
yaitu segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal dan terakhir lalu menyebar ke seluruh
kutikula tubuhnya (Wang et al., 1997a dalam Yanto, 2006).
Gambar cephalothorak pada
udang
Gejala lain yang
terlihat pada udang yang terserang WSSV adalah usus
udang terlihat berisi kotoran yang terputus-putus, jumlah udang yang mati
meningkat dari hari ke hari, 5-10% tubuh udang berwarna kusam, kemerahan dengan
antena patah, usus kosong dan seringkali permukaan tubuh ditempeli parasit (Zoothamnium sp : Vorticella sp, Ligmophora
sp, dll). Apabila sudah parah bercak
putih tersebut menyebar sampai keseluruh permukaan tubuh. Kematian secara massal akan terjadi pada hari
ke 3-5 dan mencapai 100% dalam waktu satu minggu.
Bila udang yang
terserang WSSV tetapi belum terdapat tanda bintik putih, dikategorikan pada
kronis, dimana infeksi yang dialami oleh jaringan rendah sehingga bintik putih
dan kemerahan pada udang tidak tampak. Organ-organ target yang diserang udang
fase kronis akan terjadi lebih lama yaitu 15-28 hari yang dapat dijadikan
sebagai indikator serangan yaitu sel-sel insang, hepatopankreas dan usus.
Sedangkan organ lain yang diserang adalah lambung, sel epitel, subkutikula,
organ lymphoid, antennal gland dan
hemocyte (Anonim, 2009).
Gambar
bintik putih pada bagian cephalothorak
F. Transmisi virus WSSV
Virus ini mudah sekali menyebar baik secara vertikal
maupun horizontal, artinya virus ini dapat menular melalui induk ke anak maupun
kontak langsung dengan udang sakit, air maupun peralatan bekas pakai.
Penularan juga dapat melalui hewan pembawa (carrier) seperti : kepiting, rajungan,
rebon, jambret, wideng dan udang-udang liar lainnya yang masuk dalam sistem
tambak selama ganti air. Virus ini mudah
sekali menyebar ke udang lain melalui proses saling makan (kanibalisme). Udang
yang sakit akan dimakan oleh udang yang sehat, sehingga udang yang sehat akan
tertular. WSSV juga dapat menular dari
satu tambak ke tambak lain melalui burung.
Udang yang sakit berenang di permukaan lalu dimakan oleh burung, dan
sisanya jatuh ke tambak lain (Yanto, 2006).
G.
Metode
Diagnosa
Deteksi keberadaan
virus ini paling baik dilakukan pada stadium akhir post larva, juvenil, dan
dewasa. Probabilitasnya makin meningkat dengan adanya kondisi stress (seperti
pemijahan, moulting, perubahan kualitas air, dan blooming plankton). Diagnosa
awal dapat ditetapkandengan melihat gejala klinis bintik putih. Selian itu
dapat menggunakan Metode Polymerase
Chain Reaction (PCR).
Polymerase Chain
Reaction (PCR) adalah suatu teknik uji terhadap virus melalui hasil reaksi
berantai suatu primer dari rangkaian yang menggunakan enzim polymerase,
sehingga menjadi amplifikasi DNA secara in vitro (Sunarto, 2003) . Teknik PCR
menurut Wuryastuti (2002), terdiri dari tiga reaksi yaitu:
1.
Denaturasi DNA, yaitu pemecahan DNA
target dari untai ganda DNA (dsDNA) menjadi dua untai tunggal yang identik.
Proses denaturasi dapat secara mudah dicapai dengan pemanasan secara cepat yang
diikuti pendinginan. Untai ganda DNA secara umum akan mengalami denaturasi pada
suhu sekitar 94oC. Waktu denaturasi yang baik untuk setiap putaran
berkisar antara 30 detik sampai 2 menit. Waktu denaturasi yang optimal untuk
beberapa macam cetakan adalah 1 menit.
2.
Annealing, yaitu perlekatan primer pada
DNA untai tunggal. Temperatur harus diturunkan secepat mungkin untuk mencegah
terjadinya perlekatan kembali antara untai tunggal DNA. Suhu dan waktu berperan
penting dalam menentukan spesifisitas dan sensitivitas dari reaksi. Primerakan
menempel pada pangkal dan ujung dari masing-masing DNA untai tunggal yang
berkomplementer pada suhu 60oC, sehingga mengapit daerah tertentu
dari rangkaian DNA target. Waktu yang umumnya digunakan dalam proses annealing
berkisar 0,5–2 menit.
3.
Extention, yaitu pemanjangan primer
dengan bantuan enzim Taq polymerase menggunakan rantai komplementer sebagai
template dan deoksiribonukleotida sebagai bahan utama untuk membentuk untai DNA
yang lengkap. Kisaran temperatur untuk proses perpanjangan primer adalah 75-80oC,
sedangkan temperatur optimalnya adalah 72oC, sehingga pada akhir
proses akan terbentuk 2 buah DNA untai tunggal baru yang komplemen terhadap
urutan DNA target.
H.
Pengobatan
WSSV sebenarnya bukanlah
penyakit baru yang “misterius” dan datangnya pun tidak mendadak
menyerang secara tiba – tiba. Penyakit ini sudah lama dideteksi, namun hingga
sekarang memang belum ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Kegiatan yang dapat
dilakukan hanyalah pencegahan dan pengendalian.
I.
Pencegahan
dan Pengendalian WSSV
Strategi pengelolaan untuk mengendalikan serangan
virus pada budidaya udang di tambak harus dilakukan melalui tindakan-tindakan
berikut.
1.
Persiapan Wadah / Tambak
Persiapan tambak yang baik merupakan hal utama yang
harus dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi resiko meledaknya penyakit.
Pengolahan tambak yang baik adalah prasyarat utama dalam mengurangi
faktor-faktor resiko yang dapat secara signifikan mengurangi resiko peledakan
serangan penyakit oleh patogen mematikan. Termasuk yang terpenting adalah :
¨ Membuang/mengangkat
semua lumpur (sludge) yang terdapat
pada dasar tambak, khususnya bila tambak menerapkan padat tebar tinggi (hingga
10 ekor/m). Lumpur yang berhasil dikeluarkan harus dibuang jauh dari lokasi
pertambakan, hingga tidak dapat memasuki lingkungan pertambakan lagi atau
menyebabkan permasalah lingkungan lainnya. Pengangkatan lumpur terutama
dimaksudkan untuk menghilangkan tumpukan bahan organik dari siklus budidaya
sebelumnya, terutama pada tambak sistem semi intensif dan intensif.
¨
Pembalikan dasar tambak yang ditujukan
untuk memaparkan lapisan tanah hitam di dasar tambak pada sinar matahari dan
oksigen, hal ini dilakukan saat dasar tambak masih basah agar bahan organik
pada dasar tambak teroksidasi. Setelah dasar tambak dibalik, keringkan tambak
selama 5 – 7 hari hingga warna hitam pada tanah menghilang. Jika tambak
memiliki sejarah serangan penyakit, sebaiknya proses pembalikan tanah ini
dilakukan dua kali sebelum tambak diisi air untuk proses budidaya berikutnya.
Air harus disaring menggunakan filter yang memiliki 60 lubang/inci persegi (ukuran mesh/lubang
saringan sekitar 1 mm).
¨
Pengapuran dasar tambak dimaksudkan
untuk mengoptimalkan pH dan kondisi alkalinitas tanah dan air tambak. Jenis dan
jumlah kapur yang akan ditambahkan sepenuhnya bergantung pada pH tanah dan air
tambak (harus dicek sebelum melakukan pengapuran dasar tambak). Penting untuk
diperhatikan, bila pengapuran dilakukan pada tanah yang pH > 5, maka hal ini
mungkin akan menaikkan pH dalam waktu yang cukup lama. Jika pH tetap > 5 ,
maka pemberian kapur dolomit harus diaplikasikan hingga pH 5. Catatan: jumlah kapur yang diberikan
disesuaikan hingga pH tanah stabil.
2. Persiapan Air dan
Pengisian Tambak
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
mengurangi faktor-faktor resiko yang terkait dengan persiapan air dan pengisian
tambak. Dalam persiapan air, sebaiknya dilakukan penampungan air dalam suatu
reservoir sebelum dialirkan ke dalam tambak. Air dalam reservoir dapat
didisinfeksi menggunakan 5-10 ppm hypochlorite yang kemudian dinetralisasi
dengan aerasi yang kuat dan 5 ppm Na2SO4 lalu diberikan
EDTA 5 ppm. Air dalam reservoir dibiarkan selama 14 hari sebelum
dialirkan/dipompa ke dalam tambak, agar fitoplankton dapat tumbuh dengan baik.
Jika tidak terdapat reservoir, maka air harus dialirkan melalui tandon yang
telah dilengkapi dengan filter fisik atau biologis ke dalam tambak dan
dibiarkan selama 14 hari. Selama periode itu, dapat diberikan pupuk urea atau
superphosphate dengan dosis 30-50 Kg/Ha, diberikan sebanyak 3 – 4 kali untuk
memacu pertumbuhan fitoplakton. Warna air yang telah ditumbuhi oleh
fitoplankton dengan kepadatan yang baik adalah hijau. Jika warna hijau ini
belum terjadi, maka pemupukan harus tetap dilakukan, bahkan saat penebaran
benur telah dilakukan. Patut dicatat, saat air dialirkan gunakan saringan untuk
mencegah masuknya carrier penyakit
atau kompetitor/predator seperti kepiting, ikan liar atau zooplankton lainnya.
3. Seleksi dan
Penyediaan (stocking) Benih
Pada
tahap ini, beberapa langkah kongkrit dapat dilakukan, meliputi :
¨ Benur
sebelum dibeli harus dicek di hatchery untuk hal-hal seperti keseragaman ukuran
( > 16 mm ) dan warna post-larvae, aktif berenang melawan arus air dalam
tangki. Jika ada kematian, kelainan ukuran, warna dan tidak aktif, benur jangan
dibeli.
¨ Lakukan
test keberadaan virus WSSV pada 59 ekor PL yang diseleksi secara acak
menggunakan two-step PCR. Jika sampel menunjukkan hasil negatif, maka PL dapat
dibeli dan langsung diangkut ke lokasi pembesaran/stok budidaya.
¨ Transportasi
ke lokasi penampungan harus kurang dari 6 jam, dengan kepadatan 1000-2000
ekor/liter (PL15) dan 500-1000 ekor/liter (PL20).
¨ Pada
lokasi penampungan/stok, PL yang lemah atau mati harus dibuang. Kemudian secara
hati-hati memindahkan PL ke dalam tangki yang berisi air sekitar 500 liter.
Lalu lakukan uji formalin terhadap PL, untuk PL15 dan PL20 gunakan 100 ppm
formalin selama 30 menit, sedang untuk juwana (juvenil) gunakan 150 ppm
formalin selama 15 menit. Selama proses uji formalin, sangat dianjurkan untuk
memberi oksigen yang cukup dengan menggunakan tabung oksigen yang dialirkan ke
dalam bak penampungan. Setelah proses formalin selesai, ke dalam bak
penampungan dialirkan aerasi yang kuat untuk mengumpulkan PL yang mati atau
lemah di bagian tengah bak. PL yang normal dipindahkan ke bak lain yang berisi
air bersih dan teraerasi dengan baik. Jangan lakukan test formalin jika ada
udang yang mengalami ganti kulit (molting).
¨ Selama
proses pengumpulan/stocking benih, secara perlahan benih diaklimatisasi dengan
kondisi air tambak, dengan secara bertahap menambahkan air tambak ke dalam bak
penampungan.
¨ Seluruh
proses seleksi benih harus dilakukan 2-3 hari sebelum penebaran benih di
tambak.
4.
Pengelolaan Kualitas Air
Manajemen kualitas air tambak diketahui mampu secara
signifikan menurunkan resiko peledakan penyakit pada budidaya udang.
Langkah-langkah pengelolaan kualitas air, meliputi:
¨ Penggantian
air tambak secara berkala untuk menjaga kualitas air
¨ Filtrasi
air tambak terbukti mampu mengurangi terjadinya peledakan serangan penyakit.
Gunakan saringan pada pintu masuk air, dengan ukuran mata saringan sekitar 1
mm.
¨ Gunakan
aerator yang dapat mensuplai oksigen yang cukup pada air tambak.
¨ Hindari
salinitas tinggi (> 30 ppt) dan pH air di atas 8,5 yang dapat menyebabkan
tingginya resiko peledakan serangan penyakit WSSV. pH air di atas 8,5 dapat
menjadi penyebab meningkatnya daya racun (toksisitas) ammonia akibat udang yang
mengalami stres berat.
¨ Air
tambak yang bening/jernih bukan pertanda baik, warna air harus dijaga tetap
hijau untuk menjamin produktivitas tambak yang tinggi.
¨ Air
tambak yang jernih dengan pertumbuhan alga pada dasar tambak (benthic) pertanda
produktivitas yang rendah. Oleh karena itu air dalam tambak harus dijaga dan
kedalaman pada bagian terdangkal dari tambak minimal 80 cm.
Idealnya, kualitas dan
pengamatan air tambak harus dilakukan sebagai berikut.
Parameter
|
Waktu Pengamatan
|
Nilai Acuan
|
pH
|
Pagi
hari (8-10 am) dan
Sore
hari (4-5 pm)
|
7.5
- 8.5
|
Kecerahan Air/ transparansi
|
Pagi
hari (8-10 am)
|
30
- 40 cm
|
Warna Air
|
Pagi
hari ( 8 – 10 am)
|
Berwarna
hijau
|
Suhu Air
|
Pagi
hari (8-10 am) dan
Sore
hari (4-5 pm)
|
28
- 32
c
|
Alkalinitas / Kesadahan
|
Sekali
seminggu pada bulan pertama penebaran benih. Selanjutnya tergantung kebutuhan
|
80
– 120 ppm
|
5. Pengelolaan Dasar
Tambak
Terdapat hubungan antara padat penebaran dan
pemberian pakan yang tinggi dengan buruknya kondisi dasar tambak. Hal ini
terutama terkait dengan keberadaan sedimen yang berwarna hitam dan bersifat
toksik yang dapat menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan udang dan menurunnya
produksi. Oleh karena itu, sedimen pada dasar tambak harus diperiksa setiap
minggu, khususnya pada tambak dengan padat tebar dan frekuensi pemberian pakan
tinggi, terutama pada lokasi-lokasi makan udang (feeding area atau juga dikenal
dengan istilah trench). Keberadaan
sedimen berwarna hitam, alga bentos dan bau tidak sedap harus diperhatikan.
Bila terdapat sedimen berwarna hitam dengan bau busuk, maka harus dilakukan
penggantian air tambak dan mengurangi jumlah pakan yang diberikan. Selama
proses penggantian air, feeding area dimana sedimen berwarna hitam dan berbau
busuk secara perlahan dan hati-hati diagitasi/diaduk untuk menghilangkan
sedimen hitam tersebut dari dasar tambak yang akan memudahkan dalam proses
drainage ke luar dari tambak.
6. Pengelolaan Pakan
Tata cara pemberian pakan yang baik merupakan hal
terpenting dalam menjaga kualitas air dan dasar tambak serta lingkungan tambak
yang sehat secara keseluruhan. Pemberian pelet harus dilakukan pada jadwal yang
telah ditetapkan. Nampan pakan (feeding tray) atau feeding area harus
diperkenalkan kepada udang paling lambat seminggu setelah ditebar. Feeding tray
dapat digunakan sebagai sarana untuk memantau kondisi udang selama 1 bulan
pertama sejak ditebar. Jadwal pemberian pakan pelet bergantung pada berat badan
udang dan diprediksi dari sisa pakan yang tersisa pada feeding tray yang
diberikan sebelumnya. Petunjuk pada bungkus pakan yang biasanya diberikan oleh
pabrik pembuat pakan dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian pakan.
Setelah bulan pertama penebaran, ukuran pelet harus berubah. Jika terdapat
perbedaan ukuran pada udang, maka dua macam ukuran pelet dapat diberikan paling
tidak selama 7 hari. Feeding area harus diganti setiap 10 hari tergantung pada
kondisi dasar tambak, agar udang dapat menyantap makanannya di tempat yang
bersih.
7. Penggunaan Bahan
Kimia
Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa
penggunaan berbagai jenis bahan kimia tidak memberikan manfaat dalam
pemberantasan penyakit udang di tambak. Fakta-fakta membuktikan bahwa kualitas
udang yang baik adalah udang yang dibudidaya dengan penggunaan bahan kimia yang
sangat minimal. Bahan-bahan kimia tersebut hanya kalsium hypochlorite (Bleach)
sebagai disinfektan, kapur, pupuk, zeolit yang senyawa terkait yang tidak
menyebabkan penumpukan dalam tubuh udang, dan hanya digunakan untuk memperbaiki
kualitas tambak dan kesehatan udang. Dengan pola penggunaan bahan kimia
minimal, tanpa penggunaan antibiotik dan bahan-bahan kimia yang telah dilarang
untuk digunakan, selain akan menghasilkan kualitas udang yang prima juga
mengurangi biaya untuk pembesaran udang yang jelas akan memudahkan pemasaran
udang yang dihasilkan baik di pasar lokal maupun pasar ekspor.
Hal
– hal yang dilakukan apabila terjadi outbrake :
a. Tambak
yang terinfeksi segara ditreatmen dengan 30 ppm klorin untuk membunuh udang dan
berbagai hewan karier.
b. Udang
dan hewan yang mati segera dikubur atau dibakar
c. air
dari tambak yang terinfeksi didiamkan selama 4 hari sebelum dibuang
d. kalau
seandainya terdapat petakan tambak yang berdekatan yang tidak terinfeksi dan
memiliki saluran inlet yang sama dengan tambak yang terinfeksi, maka jangan
dilakukan penggantian air minimal 4 hari.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
penyusunan makalah ini, dapat kami tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor
penyebab atau pendukung WSSV antara lain perubahan suhu air, kesadahan,
salinitas, dan penurunan kadar oksigen (< 2 ppm). Selain itu juga dipicu
oleh blooming plankton yang kemudian mati mendadak, fluktuasi pH harian besar,
suhu yang rendah, hujan mendadak, dan pengelolaan pakan yang kurang baik.
2. Gejala
klinis yang ditimbulkan adalah perubahan tingkah laku yaitu menurunnya aktivitas
berenang, kurangnya keseimbangan dalam berenang, tidak terarah,
sering berenang bergerombol di tepi tambak dan berenang
ke permukaan. Pada
fase akut terdapat bercak-bercak putih pada karapas,
tubuh udang berwarna kusam, kemerahan dengan
antena patah, usus kosong dan seringkali permukaan tubuh ditempeli parasit. Pada fase kronis udang yang terserang WSSV belum terdapat tanda
bintik putih karena infeksi yang dialami oleh jaringan rendah,
akan tetapi organ-organ target
yang diserang terjadi lebih lama yaitu 15-28 hari yang dapat dijadikan sebagai
indikator serangan yaitu sel-sel insang, hepatopankreas dan usus. Sedangkan
organ lain yang diserang adalah lambung, sel epitel, subkutikula, organ
lymphoid, antennal gland dan hemocyte.
3. Hingga
sekarang memang belum ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Kegiatan yang dapat
dilakukan hanyalah pencegahan dan pengendalian.
4. Dalam
mencegah dan mengendalikan WSSV, dapat dilakukan dengan managemen wadah/tambak,
managemen kualitas air, managemen benih, managemen pakan, dan managemen
kesehatan ikan.
B.
Saran
Manusia tidak luput dari keslahan
dan rasa khilaf. Barangkali hanya ini yang dapat kami ungkapkan. Jika ada
kesalahan materi maupun merugikan pihak-pihak tertentu kami meminta kritik dan
sarannya, kritik maupun sarannyan sangatlah penting untuk pengintrospesikan
diri melengkapi makalah ini. Terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
http://195.154.243.168/sd.php/ad/1490015zNzAxYTJiZjM/Makalah%20virus.doc
http://195.154.243.168/sd.php/sls/14899335N2U5NTlmOTQ/PENCEGAHAN%20INFEKSI%20VIRUS%20WHITE%20SPOT%20SYNDROME%20VIRUS%20(WSSV)%20PADA%20UDANG%20WINDU%20Penaeus%20monodon%20DENGAN%20CAIRAN%20EKSTRAK%20POHON%20MANGROVE%20(CEPM)%20Avicennia%20sp.%20DAN%20Sonneratia%20sp..pdf
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpx4dtO8ShPcyARG6vva8jc2VfN7i3IFpQyy9vyl4BYzqY8Vy8Q8hH4JrLOVVlbCybMdNwi9GoYmVnXSdImCDpkz_2fcX_dtctW4GyGJFr9mwN_lLOfZ-bGtNHAFdwf4AYhmOHEomBOA/s640/macam+macam+bentuk+virus.jpg
http://digilib.unila.ac.id/1088/4/BAB%20II.pdf
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=415791&val=7645&title=DETEKSI%20WSSV%20(WHITE%20SPOT%20SYNDROM%20VIRUS)%20PADA%20LOBSTER%20%20AIR%20TAWAR%20(PROCAMBARUS%20CLARKII)%20MENGGUNAKAN%20METODE%20REAL%20TIME-PCR
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&id=98500&ftyp=potongan&potongan=S3-2016-352998-Introduction.pdfhttp://go-livestock.blogspot.co.id/2015/01/klasifikasi-virus.html
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view&buku_id=68395&mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&typ=html
http://liyayudia.blogspot.co.id/2014/04/makalah-virus-mikrobiologi.html
http://marindro-ina.blogspot.co.id/2008/06/penyakit-udang-white-spot-syndrome-01.html
http://meilisadsusanti.blogspot.co.id/2013_12_01_archive.html
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/10994/STRATEGI%20PENGENDALIAN%20PENYAKIT%20UDANG%20WINDU%20ARTIKEL.doc?sequence=1
http://sidoarjo88.blogspot.co.id/2015/06/laporan-teknik-identivikasi-penyakit.html
https://simply-debrid.com/generate
https://www.academia.edu/10007356/Makalah_virus
https://www.academia.edu/6404094/WHITE_SPOT_SYNDROME_VIRUS_WSSV_DAN_BAKTERI_Vibrio_SP._PADA_PAKAN_SEGAR_YANG_DIBERIKAN_SEBAGAI_RANSUM_INDUK_UDANG_WINDU_Penaeus_monodon_White_Spot_Syndrome_Virus_WSSV_and_Vibrio_sp._in_the_Fresh_Feed_Used_as_Tiger_Shrimp_Penaeus_monodon_Broodstock_Diet
http://www.catatandokterikan.com/2016/01/wssv-white-spot-syndrom-virus.html
https://www.slideshare.net/RepositoryIPB/pencegahan-infeksi-virus-white-spot-syndrome-virus-wssv-pada-udang-windu-penaeus-monodon-dengan-cairan-ekstrak-pohon-mangrove-cepm-avicennia-sp-dan-sonneratia-sp
https://www.scribd.com/document/333811460/Dokumen-tips-Makalah-Penyakit-Virus-Mbv-Pada-Udang-Windu
https://www.scribd.com/document/75847944/Deteksi-White-Spot-Syndrome-Virus-Another-Versi
http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=3034
Terima kasih...
BalasHapusSama - sama
Hapus